Hingga tahun 1940, orang Indonesia yang dikirim ke Suriname mencapai 33.000 jiwa sejak di mulai pengiriman pertama sebagai percobaan yang berjumlah hanya 64 orang. Namun semangat Nasionalisme dan ke-Jawa-an mereka menjadi pemersatu dari berbagai macam perpecahan. Semangat keinginan untuk kembali ke tanah air (repatrian), membuat mereka membuat sarikat dan perkumpulan. Pokoknya “Mulih nJowo”.
Pada Mulanya…
Tahun 1890 dimulainya. adalah Perkebunan kopi, coklat, tebu dan perusahaan pertambangan milik amerika ALCOA (Aliminium Company Of America) yang menjadi alasan pemaksaan penduduk asal jawa untuk merantau ke Suriname oleh pemerintah kolonial belanda. Perkebunan dan pertambangan menjadi tempat untuk mengais gulden. Kontrak wajib selama 5 tahun, setelah itu terserah, mau melanjutkan atau pulang kampung. Mereka juga diberikan hak pengelolaan dibidang pertanian dengan jatah 2 Hektar tanah dengan bebas pajak selama 6 tahun pertama.
Akibat Perang
Perang dunia pertama dan sebagai pendatang terakhir di suriname menjadi pemicu ketertinggalan masyarakat Jawa di Suriname. Kehidupan semakin sulit, mereka harus meninggalkan perkebunan karena perang, mengalir ke desa-desa dengan mengadu nasib sebagai petani. Dari perkebunan berubah menjadi pertanian, mereka bahu membahu. Namun pertanian bukan jualan, membutuhkan proses yang lebih panjang sementara uang tak ada. Mereka membutuhkan uang untuk menyambung hidup selama proses bercocok tanam.
Bertahan
Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, akhirnya mereka melepas hak-nya sebagai bangsa indonesia, demi uang Sf. 100 (seratus gulden Suriname). Hilang hak untuk dapat di pulang ke Indonesia secara gratis, terikat dengan tanah Suriname. Uang kapal atau premi atau “Ngedunke Jangkar” Istilah buat mereka. Hingga tahun 1949 ada sekitar 37.596 jiwa penduduk jawa yang menetap di Suriname, Amerika Selatan. Mereka 80% tinggal dalam 7 distrik sebagai petani kecil, hidup terisolasi dari pengaruh kebudayaan lain. Mereka hidup dalam tatanan asli jawa dengan budaya dan adat istiadat tentunya, dengan predikat petani termiskin. Ada juga yang menjadi buruh tambang di daerah Moengo dan Paranam.
Paramaribo
Adalah kota yang sekitar 20% warga jawa tinggal mereka berasimilasi dengan etnis lain. mereka hidup membuka warung, sebagai buruh, supir, berkesenian bahkan ada juga yang menjadi sedikit intelek sehingga mereka kerja di kepegawaian. Asimilasi demi bertahan hidup telah menimbulkan keresahan bagi orang tua terhadap anak anaknya. Mereka masih suka Tayub, Ronggeng, Wayang Kulit, Ludruk, Ketoprak. Mereka pun mulai menyukai dansa dan mabuk. pengaruh ini perlahan masuk ke desa-desa juga. Bahasa jawa yang mereka pake bahasa “Jawa Kromo” dan “Ngoko” sudah tidak murni lagi sudah terpengaruh oleh “Nengre – Tongo” lidah Negro. Nama anak-anak jawa kelahiran Paramaribo pun sudah tidak bernuansa jawa murni lagi. Nama seperti Henriette, Petronela, Frits, Ferdinand telah melekat pada anak anak jawa itu. Namun Rasa Rindu tanah air tak dapat di bendung.. berkali kali mereka membuat paguyuban demi hidup yang lebih baik dan sekaligus demi pulang kampung ke tanah jawa agar lebih teroganisir. mereka bela mati-matian untuk itu.
Perang Dunia kedua justru membawa ngin segar untuk Paramaribo. Di bangunnya basis militer demi perang justru menggerakan perokonomian wong jowo di sana. Pengangguran drastis berkurang, upah buruh membaik, hasil panen yang bertumpuk laku keras.. banyak uang.. bahkan kekurangan stok. Hingga keluar peraturan akan jatah stok bahan pokok makanan.
Pasca Perang Dunia kedua Belanda lebih jelas lagi memandang negara jajahannya, mereka di beri kemerdekaan namun dengan batasan, otonomi khusus mungkin. Pun pasca perang dunia kondisi perekonomian kembai memburuk. Penguasa Interim Regering bentukan Konferensi di Den Haag selama bekerja 3 tahun tak menunjukkan hasil, mereka berpihak ke kaum kaya saja. Untuk itu bermunculan partai partai politik, termasuk suku jawa membentuk organisasi KTPI ( Kaum Tani Persatuan Indonesia pada tahun 1947 dan PBIS (Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname). KTPI lebih banyak mendapat dukungan karena jargonnya Mulih Njowo, sementara PBIS dianggap pengkianat karena terdiri dari kaum intelek anggotanya. Namun demikian ada anggota mereka yang ingin tetap pulang kampung, tapi bukan pulang dengan celana gembel, yang justru akan jadi beban bangsa. PBIS lebih kepada bagaimana mensejahterakan wong jowo disana. organisasi inilah yang mencoba numpang di partai politik dengan tujuan akselarasi tujuan yang sebenarnya.
Bersambung…
sumber: Dari Suriname ke Tongar