Pengembaraan dan kebebasan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Sadar di alam bebas adalah penguasa, paling tidak untuk diri sendiri dan ketidakterikatan dengan waktu menjadi makanan sehari-hari. Seteguk kopi lantas bergegas membereskan tenda, meninggalkan hari kemarin menatap esok dengan seri. Kira-kira seperti itu Nomaden mengisi hidup.
Sedangkan orang-orang perkotaan hidup di satu tempat, kemarin, hari ini dan esok.. menjadi bulan-bulanan waktu.. dengan menampung segala macam keburukan. Perkotaan adalah sarang kecurangan, kemalasan, dan hura-hura, sembunyi di balik dinding-dindingnya yang setiap saat siap menerkam moral dan insting manusia. Segala sesuatu membusuk di kota termasuk keindahan bahasa yang merupakan salah satu indikator jenis manusia dan kualitas anda. Begitu kira-kira yang terjadi, lengkingan suara yang paling besar kadang menjadi trendsetter kebenaran. banyak pengikut berarti secara faktual benar. Setan juga banyak loh pengikutnya.
Kebenaran Mutlak Sudah Mati
Lewat bahasa orang-orang modern mencari kebenaran, orang-orang perkotaan post modern sekarang mempertanyakan kebenaran. Apa yang dicari? Sudah pasti makna. Makna menurut siapa?
Bahasa tersusun oleh kata, kata tersusun oleh budaya, maka yang terjadi adalah bracketing makna dari sebuah kata. Sulit untuk langsung sepakat, butuh proses mediasi, penjelasan sebelum akhirnya pun berakhir dengan perbedaan. Pluralisme dan gender matter menjadi tujuan dari dari bracketing. Sepertinya kebenaran mutlak sudah tidak ada, maka yang ada kebenaran relative. Tuhan sudah mati, kebenaran mutlak sudah mati. begitu kira-kira kata Nietzche.
Tuhan sudah mati, kebenaran mutlak sudah mati
— Nietzche
Keindahan bahasa yang biasanya terbungkus dalam karya satra seperti satir, puisi, prosa telah bermetafor menjadi tulisan-tulisan digital yang setiap saat menerkam kita bahkan anak-anak kita. Menulis tanpa tanda baca yang benar menjadi trend bahkan menulis dengan aturan yang baik-baik dan benar dianggap sebagai pemborosan. Makna tereduksi, proses ritual spiritual telah menjadi terasa hanya sebagai rutinitas global. Perselisihan makna menjadi pernak pernik media sosial bukan kebetulan tapi sudah menjadi ritual. Ya ritual baru. Ritual spiritual akan eksistensi manusia sebagai bagian kosmis galaxy memerlukan latihan dan upaya yang terus menerus bukan secara instan, baik yang percaya kepada Tuhan yang terbalut oleh agama atau yang tidak percaya adanya Tuhan.
Ya, galaxy bimasakti telah menjadi paramater baru, karena ternyata bumi sudah tidak sanggup untuk menampung makna pluralitas dan gender matter. Ada yang merasa bumi hanya untuk golongan tertentu, sehingga harus diambil contoh yang lebih luas lagi untuk menggambarkan bahwa pluralisme dan gender matter adalah hak semua orang. … hallllo.. kita juga ciptaan Tuhan.. apa masalah Lu?
Hidup dalam lingkungan yang super majemuk seharusnya menjadi kekayaaan bukan menjadi pembelaan untuk urusan mana yang lebih superior. Bahasa menjadi krusial, di satu sisi dianggap enteng, terkelompok dalam satu bahasa adalah keniscayaan, tidak mau komunikasi dengan kelompok lain adalah melawan alam. Pada struktur sosial yang sederhana atau menyerdehanakan diri, keindahan bahasa menjadi latihan spiritual untuk mengerti.
Oh ya.. setiap orang ingin menciptakan tools benchmark yang berbeda, satu hal… Albert Einstein butuh yang pasti (konstanta) untuk menjelaskan yang relatif.