Sebagai bukan generasi Kids Jaman Now , saya mengalami 3 generasi dalam teknologi camera. SLR, DSLR, dan mirrorless. Baik untuk kebutuhan citra bergerak maupun citra diam. Membahas SLR saat ini sudah menjadi seperti membicarakan sejarah, namun bukan karena membaca buku tapi sebagai pelaku. Sejarah evolusi dari SLR menuju DSLR sudah sekian tahun yang akhirnya teknologi digital imaji samapai pada term Mirrorles.
SLR vs DSLR
Adopsi mekanikal SLR ke DSLR tidak bisa dihindari, hanya sistem akhir yang membedakaanya. Kalau pada SLR jendela rana terbuka, cahaya masuk dengan jumlah tertentu menyentuh emulsi celluloid maka terjadi proses kimia yang biasa kita sebut exposed. Hasilnya.. Nanti di lab baik secara personal lab maupun lab besar berbayar.
Cermin dan prisma belum bisa dihilangkan pada DSLR. Hal ini mengacu pada adopsi besarnya sensor yang secara ukuran seperti pada teknologi SLR. Anda akan menemui hal yang sama persis walaupun seiring kemajuan ada penambahan fasiltas citra bergerak (bahkan menjadi bukan fitur tapi fungsi), gps, wi fi, dsb. Sebagai konsekuensi digital yang bisa disematkan pada kamera DSLR dalam rangka mempermudah dan menambah fitur sebagai bahasa penjualan.
Secara fisik masih terasa sama besar. Namun di luar hal tadi bahwa transisi dari SLR dan DSLR yang memang tak bisa dihindari oleh produsen kamera adalah tidak mungkin melakukan perubahan secara drastis karena akan berakibat pada investasi besar-besaran kepada pengguna. Karena kamera butuh teman yang namanya lensa. Supaya lensa bisa berfungsi sebagaimana mestinya salah satunya adalah adanya kesamaan flange distance (jarak dari mounting lensa ke film/sensor), pada lensa dan requirement dari setiap merk kamera. Kalau jarak ini tidak di penuhi maka photographer/videographer akan bermasalah dengan titik focus, infinity, dan calculator depth of field.
Kompatibilitas SLR dan DSLR
Jadi kompatibilitas lensa SLR dan DSLR masih dipertahankan yang akhirnya karena ukuran yang besar juga menjadi masalah (bagi yang suka yang ringan) maka teknologi sensor ada yang di buat lebih kecil walaupun punya konsekuensi teknis. Yang menjadi pemecah masalah semua ini adalah ketika beberapa tahun belakangan ini munculnya berbagai macam adaptor lensa sehingga bisa cross platform walaupun ada limitasinya. Teknologi pun berkembang dari full frame(APS) ke APS-C, APS-H, Dx, 4/3 dsb. Memperkecil sensor demi fisik yang lebih kecil. Berangkat dari fisik yang ingin lebih kecil dan konsekuensi system mekanik rana serta adanya teknologi yang sudah memungkinkan maka sebuah system baru telah lahir, lebih kecil, non mekanikal camera.
DSLR vs MIRRORLESS
Disini saya akan melakukan pendekatan personal sebagai pengguna DSLR dengan kapasitas saya untuk kebutuhan citra bergerak. Ukuran dan berat, kadang ini menjadi pembanding. Untuk Sebuah pekerjaan hal-hal lain seperti akan terabaikan. Yang punya masalah dengan hal tersebut ya monggo-monggo aja. Bagi saya ketika ada alat yang lebih compact, murah tanpa mereduksi kebutuhan teknis saya itu adalah yang terbaik. Harusnya teknologi seperti itu. Lebih ringan, kecil tanpa mengurangi fungsi. Lain dari itu bagi saya itu hanya bahasa orang jualan.
Tidak ada sebuah kamera atau lensa yang ideal untuk semua kondisi sama seperti perlatan lain. Kalau anda tinggal di daerah dengan jalan yang tidak sebagus di kota kota besar, saya yakin anda akan memakai mobil yang lebih tinggi, bukan malah di ceperin buat gaya gayaan. Semua tergantung kebutuhan. Disitulah gunanya pengalaman dan jam terbang. Efisiensi, durability dan suistainability dari peralatan menjadi pertimbangan. Ini pekerjaan, bisnis dan service.
Fokus Pengembangan Mirrorless
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para produsen untuk lebih meningkatkan ketertarikan orang pada kamera mirrorless:
- LCD/EFV
Electronik View Finder bukan cuma sekedar sebuah alat live preview yang penting keliatan. Terus terang jangankan untuk EVF, LCD pun masih banyak yang mengecewakan, buat saya pribadi. Sepanjang pengalaman saya baru satu brand utk urusan DSLR dan mirrorless LCD yang nyaman di mata saya. Ketika saya melihat LCD untuk kebutuhan framing, dan settingan lain kenyamanan dan hasil akhir pada saat di editing suite menjadi hal yang crusial bagi saya, “What you see is what you get” kurang lebih seperti itu ketika berurusan dengan LCD/EVF.
Hal inilah yang harusnya di perhatikan oleh produsen (maaf, kenyataanya saya hanya nyaman pada satu brand). Ketika melihat image pada LCD/EVF bukan cuma masalah warna, hitam putih, kontrast saja. Tapi grey shade untuk kebutuhan dynamic range tentunya. Ingat, LCD/EVF bukan TV tapi adalah praliat untuk editing, seberapa banyak koreksi, dan seberapa tingkat rasio cahaya pada framing akan menjadi pertimbangan akan bisanya atau tidak koreksi yang akan dilakukan yang tentunya akan berurusan dengan budget nantinya. - FPS
Frame per second juga menjadi pertimbangan, secara teknologi dengan mirrorless akan lebih mungkin bisa untuk menaikan FPS daripada shutter apalagi kalau pertimbangan budget. Kebutuhan akan FPS yang lebih tinggi akan lebih mengasikkan untuk eksplorasi citra bergerak. - AUTO FOCUS
Pada penggunaan lensa yang dedicated sudah memungkinkan untuk akurasi autofocus. Baik untuk follow focus atau changing focus. Ini juga kabar baik yang akan meringankan beban kerja. Namun tidak semua kondisi tentunya bisa, saya pribadi berharap. - Battery
Peningkatan daya tahan battery atau adopsi rendah daya juga menjadi perlu perhatian.
Pada industri citra bergerak dengan skala budget terbatas ada solusi pada teknologi mirrorles. Perbaikan tentu akan terus dilakukan. Art and science itulah istilah yang tepat.
Kreatifitas anda pada penerapanya akan bergantung pada pengetahuan anda akan perkembangan teknologi.